Berkah Rezeki

Setiap orang mempunyai tafsirannya sendiri tentang apa yang namanya rezeki. Terkadang saya menyebutnya rejeki. Rezeki itu macam-macam ya. Dalam hidup sehari-hari, kita seringkali menyamakan rezeki itu dengan uang.

Misalnya, dalam perjalanan pulang dari sekolah ketemu duit Rp. 100.000,00 di jalan. Dalam hati teriak "Yesss, dapat rezeki nomplok nih. Lumayan buat beli kuota".
Dapat gaji dari Oriflame berkat naik level, wah rezeki lagi nih. Bonus masuk ke rekening. Cusssss. Dapat uang dalam saku bajunya bapak di rumah juga senang. Langsung histeris katanya rezeki lagi. Hahaha. Kadang bilangnya durian runtuh, padahal tidak seberapa. Namun itulah ungkapan kita sehari-hari mengenai rezeki ini. 
Melulu tentang uang ya. Hehehe. 


Banyak uang, banyak rezeki. Namun, tidak selalu banyak uang bikin bahagia. Keberkahan suatu rezeki bukan hanya karena "banyaknya" kok. 

Yang banyak bisa terasa kurang. Yang sedikit bisa terasa lebih. Tergantung bagaimana kita mensyukurinya. Keberkahan rezeki adalah datangnya kebaikan setelah kebaikan. 

Contoh:

Hujan turun.
Hujan itu rezeki.
Karena hujan menumbuhkan banyak hal di bumi, membersihkan udara, menyejukkan, mengingatkan kita kenangan manis walau kita sudah melupakannya, dan lain-lain.

Tapi saat hujan turun, si A bilang "Waduhhh apaan sih hujan, jadi gagal nongkrong di Zona Kongkow deh".

Si B bilang "Syukurlah hujan. Gak bisa keluar nongkrong sama teman-teman deh. Ya nanti juga ada waktu lagi. Sekarang biar di rumah saja bersama keluarga".

Lihat kan?
Sama-sama mendapat rezeki berupa hujan. Tapi reaksi kita menentukan seberapa berkah si rezeki ini. Banyak nikmat rezeki yang kita dapat. Tapi kita suka lupa. Karena kebanyakan dari kita menilai rezeki itu hanya uang yang banyak.

Punya anak? Rezeki. Karena yang kepengin anak sampai rumah tangga bertahun-tahun belum juga ada anak, banyak kok. Sudah ikhtiar sana-sini tapi belum dikasih anak. 

Punya tetangga baik? Rezeki. Saat kita kesusahan, dibantu. Saat kita kerepotan, dibantu. Saat kita butuh, mereka ada buat kita. 

Punya suami yang bertanggungjawab? Rezeki. Di luar sana, banyak ibu-ibu yang berjuang sendiri karena suaminya bahkan tidak mengerti konsep menafkahi keluarga.

Punya mertua yang selalu mengirimi kita masakan? Rezeki. Daripada beli kan? Masak sendiri juga repot ah.

Punya pelanggan yang bayar pesanan tepat waktu? Rezeki. Di luar sana, banyak yang mengalami kredit macet. Ambil barang semangat, tapi giliran bayar, aduhaaaiiii...😂

Punya badan sehat, kaki bisa jalan kemana-mana, dua tangan kiri dan kanan lengkap, dan mata sehat. Itu rezeki luar biasa lho. Di luar sana, ada yang tiap hari harus ke Rumah Sakit dan hidup bergantung dari peralatan medis.
Kadang saya sendiri berpikir, seandainya dulu manusia tidak menciptakan uang, akankah sekarang ini kebahagiaan dan rasa syukur kita diukur dengan uang?

Seandainya di dunia ini tak ada uang, akankan segala apa yang kita sebut impian (impian punya rumah, punya mobil, naik haji, tur rohani ke Yerusalem, menyekolahkan adik-adik dan anak, jalan2 ke luar negeri) masih ada?
Uang diciptakan oleh manusia, jadi mengapa manusia malah menentukan level kebahagiaannya dengan melihat jumlah saldo di tabungannya?

Tuhan menciptakan manusia dan tidak pernah ada ceritanya Tuhan dikendalikan oleh manusia yg diciptakan-Nya. Tapi manusia menciptakan uang, namun mengapa kemudian manusia dikendalikan oleh uang yang diciptakannya sendiri? 

😉😉😉😉😉

Bai de wei, ini hasil permenungan saya semalam. Saya teringat hari Minggu kemarin di Gereja, ketika saya melihat ada suatu ibu yang ragu memberikan uang kolekte. Tempat kolekte pertama, ia menaruh uang Rp. 5.000,00. Ketika disodorkan lagi tempat kolekte yang kedua, raut wajahnya menunjukkan keragu-raguan. Karena ia melihat isi dompetnya ada uang sebesar Rp. 20.000,00. Saya pun berkata" Taruh saja, mama. Nanti Tuhan kasih mama lebih banyak lagi. Alhasil, beliau pun menuruti.

Sepulang dari Gereja, saya teringat kembali akan ibu tadi. Saya berpikir, masih ada juga ya seorang ibu yang sudah tua, masih juga kuatir akan kehabisan uang dalam Gereja. Apa beliau tidak sadar Tuhan sedang memperhatikannya. 
Saya bukan menilai ibu itu kurang paham soal rezeki dalam agama. Tapi entahlah. Mudah-mudahan perkataan saya didengar olehnya, dan rezekinya pun bertambah.

Namaste. Namaskkar.

Komentar