Kisah Vanili Kering dan Atheis



Pada tgl 18 April 2018, saya berada di suatu pulau. Pulau yang terkenal dengan hasil komoditinya. Namanya Adonara. Coba deh buka Google Map, pasti nemu. Hehehe.
Pulau cantik. Kenapa saya bilang cantik? Karena terkenal dengan pantainya yang indah-indah, hasil lautnya yang berlimpah, masyarakatnya yang ramah, serta hasil buminya yang kaya. Wkwkwk, maksudnya hasil kebun. *linglung berat*

Waktu itu saya lagi di kampung ya, di Larantuka; mengikuti Semana Santa. Seusai hari raya Paskah, saya ingin berkunjung ke rumah teman saya, di Adonara. 
Waktu telah menunjukkan pukul 15.00 WIB, saya pun mencari jasa perahu kecil. Yah, butuh sekitar 10 menit untuk sampai di Pelabuhan Tanah Merah dari Dermaga Pantai Paloh. Disana saya telah ditunggu oleh suami teman saya. Saya hampir menangis waktu itu karena jalan menuju ke kampung itu sangat ekstrim. Berhentinya pun hampir lima kali untuk istirahat karena capek mendaki. Hehehe rela-rela mendaki demi bertemu tukang urut yang dapat menyembuhkan sakit pada punggungku ini. Sekitar 45 menitan kami sampai di rumahnya. Tepat jam 5 kami tiba di rumah, dan kami langsung disuguhi teh dan jagung titi. Jagung titi ialah makanan khas kami orang Flores Timur. Cara membuatnya sederhana saja; jagung disangrai setengah matang, lalu pipihkan atau ditumbuk menggunakan batu khusus. Batunya ceper. Hehehe. Biasanya saya merendam jagung titi bersama teh panas karena terlalu keras. Gigiku ndak bisa ngunyah. Padahal hidup saya ini hidup ngunyah. Nguuunnyaaahh saja. Hahaha. 


Ehh, disana airnya dingin lho. Berasa kayak lagi di Moni. Saya mandi air hangat saja. *manja*
Malam harinya baru deh saya diurut/dipijit oleh kakak ipar teman saya. Beliau itu dukun. Hehehe. Dukun urut. *ngakak*

Tepat pukul 20.00 WITA saya diurut oleh kakak ipar teman saya. Urut mengurut itu berlangsung selama satu jam. Awalnya saya ketakutan, karena kata mereka tulang belakang saya harus ditarik. Hiiiiii seram-seram asoyy. Eh, ternyata enak juga diurut. Wkwkwkwk. Ketagihan jadinya karena diselingi dengan canda tawa. 
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan tepat pukul 22.30 WITA. Yuk bobok karena besok harus pulang. *zzzzttttttt*

Keesokan harinya, saya dibekali jagung titi seplastik, sama sayur-sayuran lainnya. Lumayan  dijadikan oleh-oleh buat nenek di kampung. Qiqiqiqi. Tepat pukul 15.00 WITA saya naik perahu motor kembali ke Larantuka. 
Setelah tiba di dermaga, saya berpapasan dengan seorang bule. Kebetulan bule itu ditemani oleh seorang lagi temannya. Hahaha. Tapi pribumi ya. Singkat saja perkenalan kami. Gini-gini bahasa inggrisku lancerrr ngalir. Qiqiqiqiqi.

Usut punya usut ternyata si bule yang namanya Daniel itu sedang bekerja sama dengan petani-petani vanili dari daerah Adonara. Tepatnya Adonara Tengah. Konon, kawasan Adonara Tengah itu sangat subur karena memang merupakan daerah dingin. Cuacanya bagus untuk bercocok tanam. Ada yang bilang Adonara itu, Malang kedua. Hahaha. Saya sempat bertanya beberapa hal kepada Daniel terutama beliau bekerja sama dalam hal apa. Beliau menjelaskan bahwa dirinya diutus perusahaan PT. Tripper Natura di Bali untuk terjun langsung ke lapangan. Beliau harus berbaur dengan warga Adonara. Sampai-sampai belajar bahasa daerahnya juga. Saya masih ingat beliau berteriak "bera-bera" yang artinya cepat-cepat ketika saya berlari memanggil ojek. Hahaha lucu sekali mendengar bule berteriak seperti itu dengan aksennya yang kental.

Beliau ini ialah orang penting pada PT. Tripper Natura di Bali. Saya masih ingat kata Daniel bahwa lokasi perusahaannya terletak di Seminyak. Mereka membudidayakan vanili dan cengkeh di Adonara, dan hasilnya akan dikirim ke Bali. Dari Bali akan diolah menjadi minyak vanili dan minyak cengkeh, lalu dikirim ke Belgia. Disanalah minyak vanili dan minyak cengkeh tadi akan diolah secara berkelanjutan dan digunakan menjadi bahan pembuatan kue, kosmetik, minyak rambut, dan lain-lain.
Untuk berita lengkapnya, dapat dibaca disini.

Hey, belum habis nih ceritanya. 😂


Saya dimintai nomor Whatsapp. Hihihi. Buat kenalan lebih lanjut. Karena waktu itu beliau sama temannya hendak bertolak ke Adonara.
Tiga hari kemudian beliau menghubungi saya via Whatsapp. Saya diajak ke Hotel Asa. Salah satu Hotel berkelas di Larantuka.
Sesampainya di Hotel Asa, saya diajak oleh Daniel untuk berkenalan dengan lima orang temannya. Empat orang temannya yang pria, satunya lagi wanita. Saya tidak ingat lagi nama-nama mereka, kecuali yang wanita.


Namanya Camille Trenn. Umurnya baru 22 tahun. Dia mahasiswa jurusan pertanian pada kampus ternama di Belgia, semester VI. Saya lupa nama universitasnya. Kalau masih ada akun Facebooknya, mungkin saya sudah mentautkan linknya disini. Maklum, si Camille ini jarang bersosmed ria. Saya beranggapan kalau dia sudah menutup akun Facebooknya.

Perkenalan saya dan Camille ini cukup mencengangkan. Hehehe. Mencengangkan karena gini, dimana-mana mahasiswa sekarang pasti punya telepon genggam pribadi kan. Tapi tidak bagi Camille. Dia bahkan tidak suka punya barang itu. Facebooknya saja dibiarkan. Bayangkan, dia hanya punya lima teman saja. Mungkin karena mereka para mahasiswa di belahan bumi barat sibuk belajar ya sampai-sampai lupa pegang handphone. 
Camille juga mengajari saya menari balet. Dia pandai sekali. Saya sampai tersanjung melihatnya menari di bawah rumput. Ketika saya mencobanya, kaki saya langsung sakit. Mana tahan saya berdiri hanya ditopang ibu jari. Uhhhh. Camilleee...
Yang lebih mencengangkan lagi, ketika saya menanyakan apa agamanya. Dia menjawab saya dengan santai kalau dia tidak beragama. Hidupnya bebas, walau ia seorang atheis. Katanya, mereka di dunia barat itu santai saja. Khususnya di Belgia, kampung halamannya. Ada segelintir orang yang memang tidak beragama. Mereka juga percaya akan adanya Tuhan.
Camille ini ayahnya seorang Buddha, dan ibunya Katolik. Namun, sampai sekarang dia belum memilihnya. Apa nanti dia harus ikut agama ayahnya atau agama ibunya. Bahkan orang tuanya pun mengikuti keinginannya. Mereka tidak terlalu memaksa Camille. Mendengar hal itu, saya menyarankan agar ia memilih salah satu menurut kata hatinya. Dan ia pun mengatakan kalau saya jangan kuatir, karena suatu saat cepat atau lambat dia pasti akan mempunyai agama.
Saya mencoba bayangkan bagaimana hidup saya tanpa agama.
Percakapan kami pun berlangsung. Saya bertanya lagi tentang bagaimana kalau orang atheis itu meninggal dan ia menjawab kalau misalnya orang itu meninggal pada hari Senin, maka hari itu juga dikuburkan. Tetangga akan berdatangan dan membantu proses penguburan. Jenasah akan didoakan sedikit lalu dikuburkan. Setelah itu didoakan lagi, lalu orang-orang pun bubar. Itu saja. Tidak ada lagi yang namanya malam ketiga atau keempat seperti kebiasaan kita di Indonesia khusus yang beragama Katolik. Tidak ada juga yang namanya jenazah itu harus didoakan di Gereja atau di Masjid terlebih dahulu.

Sesimpel itu ya. Wah, saya merasa ngeri dengan mulut saya yang terbuka lebar akibat menganga heran. Hahaha. Sedikit lagi nyamuk masuk. Dalam hati saya berpikir, padahal begitu tata cara mereka. Orang-orang pada hidup mencari harta, bebas semau mereka, tanpa memikirkan Tuhan. 
Tempat ibadah pun jarang dikunjungi. Bahkan berdoa di rumah pun jarang. Saya bayangkan lagi bagaimana arwah orang yang meninggal itu setelah dimasukkan dalam kubur. Apa ia bangun dan dijemput malaikat atau setan? Apa leluhurnya tidak mendatangi dia? Apa ia langsung masuk neraka? Apakah selama hidupnya ia tidak mendapatkan pelajaran agama sewaktu masih sekolah? Masih banyak pertanyaan dalam otak saya. Wah, masih baik kehidupan kita di Flores.
Sekilas saya memandangi wajah cantiknya sambil bergumam dalam hati "Ya Tuhan, semoga dalam waktu dekat Engkau mengutus malaikat-Mu untuk menampakkan diri kepadanya. Buatlah dia sadar akan pentingnya agama.  Jangan biarkan wajah cantiknya itu harus mendekam di neraka untuk selamanya".
Kasihan juga anak secantik Camille harus berada di neraka nanti.

Pertemuan saya dan Camille Trenn ini meninggalkan kesan yang mendalam. Ternyata di luar sana masih banyak orang yang tidak punya agama. Mereka hidup seenaknya saja tanpa memikirkan kehidupan baru setelah kematian. Jadi merinding sendiri.


Eh, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 WITA. Saya mulai mengantuk dan mual karena makan nasi goreng yang dipesan Camille. Tepat pukul 22.30 WITA saya berpamitan untuk pulang ke rumah.
Tidur malam saya kala itu pun terbilang susah. Susah karena memikirkan orang-orang atheis.


Foto ini diambil sebelum saya pulang dari Hotel Asa malam itu. Lihatlah Camille Trenn. Betapa cantiknya dia.

Komentar

  1. Cieeee uhuk! Itu kah? Itu Kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aeee cim aku ngange... Hahaha dia sudah ada anak.. Ana lebih besar dari jao..

      Hapus

Posting Komentar